Part 8 — Di Balik Tatapan Dingin: Luka yang Tak Pernah Sembuh
Tatapan Haruka Sakura selalu tampak tegas, hampir seperti perisai.
Mata heterokromianya—satu gelap, satu terang—bagaikan jendela menuju dua dunia yang bertabrakan di dalam dirinya. Banyak yang mengira itu hanya desain karakter, tapi sesungguhnya, mata Haruka adalah peta dari semua luka yang tak pernah ia ceritakan.
Setiap kali ia menatap lawan, ada bayangan masa lalu yang ikut memantul di sana: malam-malam sunyi, kata-kata tajam, dan kesepian yang tumbuh tanpa suara. Tatapan dinginnya bukan bentuk keangkuhan; itu cara ia bertahan. Karena di dunia yang cepat melukai, menatap tanpa emosi adalah satu-satunya perlindungan yang ia miliki.
Namun, di balik dingin itu, ada sesuatu yang lembut. Saat teman-temannya tertawa, atau ketika seseorang menyebut namanya tanpa nada menantang, mata itu berubah. Sedikit lebih hangat, sedikit lebih manusia. Seakan-akan di balik dinding kaca itu, Haruka masih ingin percaya pada dunia.
Luka yang tak terlihat adalah yang paling berat disembuhkan.
Haruka tahu itu lebih dari siapa pun. Ia bisa menutupi lebam di tangan, tapi tidak bisa menyembunyikan rasa kehilangan yang masih hidup di dadanya. Namun anehnya, justru luka itulah yang membuatnya peka terhadap rasa sakit orang lain. Ia tahu bagaimana rasanya sendirian; karena itu, ia berjuang agar orang lain tak perlu merasakan hal yang sama.
Tatapan dingin Haruka adalah kontradiksi yang indah —
bukti bahwa seseorang bisa tampak keras di luar, namun tetap rapuh di dalam. Dan mungkin, di situlah letak kemanusiaannya: ia bukan pahlawan yang sempurna, melainkan manusia yang belajar mencintai dunia meski pernah disakiti olehnya.