Ketika Amarah Menjadi Bahasa Kasih

Part 4 — Ketika Amarah Menjadi Bahasa Kasih

Haruka Sakura tidak pernah pandai berkata lembut.
Ketika orang lain mengekspresikan perhatian dengan senyum atau kata manis, Haruka melakukannya dengan caranya sendiri — melindungi, berteriak, kadang meninju. Bagi banyak orang, ia terlihat keras. Namun di balik itu, amarahnya bukan kebencian; itu adalah bahasa kasih yang belum menemukan bentuk kata.

Setiap kali Haruka berkelahi, bukan ego yang mendorongnya, melainkan ketakutan kehilangan seseorang lagi. Dunia telah lama mengajarkan bahwa kelembutan adalah kelemahan, dan Haruka tumbuh dengan keyakinan itu. Tapi di Bofurin, di antara teman-teman yang percaya padanya, ia mulai belajar bahwa kasih tidak selalu berarti lembek — kadang, kasih justru adalah keberanian untuk melawan demi melindungi.

Ada pemandangan yang sering muncul dalam hidup Haruka: tangan yang ia gunakan untuk memukul adalah tangan yang sama ia ulurkan kepada temannya yang jatuh. Di sanalah paradoksnya — ia melukai agar orang lain tak perlu terluka. Dan meski cara itu salah di mata dunia, bagi Haruka, itulah satu-satunya cara ia tahu untuk mengatakan “aku peduli”.

Namun, seiring waktu berjalan, amarahnya mulai berubah warna. Dari merah menyala menjadi oranye lembut; dari api yang membakar menjadi cahaya yang menerangi. Ia menemukan bahwa menjadi kuat tidak harus selalu dengan kekerasan, dan mencintai tidak harus selalu diam. Haruka Sakura, si pemberontak yang tak pernah belajar menulis surat cinta, akhirnya menemukan bentuk kasihnya sendiri — dalam keheningan, dalam tindakan, dalam tatapan yang tulus.

Amarahnya mungkin masih ada, tapi kini ia tahu: di balik setiap teriakan, ada hati yang hanya ingin melindungi sesuatu yang berharga. Itulah bentuk cinta yang paling manusiawi.