Part 10 — Ketika Jalanan Menjadi Arena Pertumbuhan
Bagi Haruka Sakura, jalanan bukan sekadar ruang antara rumah dan sekolah — ia adalah medan tempur yang membentuk jiwanya. Di aspal yang retak, di bawah cahaya lampu jalan yang redup, Haruka belajar arti keteguhan lebih dari apa pun yang diajarkan di dalam kelas.
Jalanan mengajarkan kejujuran.
Tidak ada nilai, tidak ada pujian, tidak ada guru yang menuntun tanganmu. Hanya diri sendiri, dan pilihan untuk terus melangkah atau berhenti. Di sanalah Haruka menemukan jati dirinya, di tempat yang kasar namun nyata. Tiap langkah di trotoar adalah doa yang tak pernah diucapkan, setiap pertarungan adalah pelajaran tentang bagaimana cara tetap menjadi manusia di dunia yang menuntut kekuatan.
Bagi orang lain, pertarungan Haruka hanyalah kekerasan tanpa makna. Tapi bagi dirinya, setiap perkelahian di jalan adalah bentuk komunikasi — bahasa yang mungkin terdengar keras, tapi jujur. Ia tak mencari darah; ia mencari arah. Ia meninju bukan karena benci, tapi karena ingin dipahami.
Seiring waktu, jalanan itu berubah fungsi.
Dulu tempat pelarian, kini menjadi tempat pulang. Haruka tak lagi berjalan sendirian. Teman-teman di Bofurin menemaninya, menulis cerita baru di jalan yang sama — bukan dengan luka, tapi dengan tawa dan saling percaya.
Mungkin hidup memang seperti jalan panjang itu: penuh debu, keras, dan tidak selalu lurus. Tapi selama kita masih melangkah, masih mencari arti dari setiap luka, berarti kita masih tumbuh.
Dan Haruka Sakura adalah bukti bahwa kadang, tempat yang paling keras justru menjadi ruang di mana hati kita belajar menjadi lembut.